kedudukan kaum istri




Dalam Firman Allah S.W.T Surat An-Nisa’ ayat ke 32 :
“LIRRIJAALI NASHIIBUN MIMMAA IHTASABUU WALINNISAAI NASHIIBUN MIMMAA IKTASABNA”
Artinya:

”Bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi mereka wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan. ”

Yang dimaksud adalah pahala yang diberikan Allah S.W.T kepada kaum lelaki karena menunaikan jihad. Sedangkan pahala yang diberikan Allah S.W.T kepada kaum wanita adalah lantaran mereka memelihara kemaluannya dan mentaati Allah S.W.T serta mentaati suaminya. Pahala kaum lelaki dan wanita di akhirat kelak kedudukannya sama. Yang demikian karena, perbuatan baik itu dilipatgandakan pahalanya hingga sepuluh kali lipat. Baik hal itu berlaku bagi kaum lelaki maupun wanita. keutamaan kaum lelaki atas kaum wanita hanyalah sebatas masa di dunia. Demikian menurut penafsiran Asy Syarbini didalam Tafsirnya.

Iman Ali RA mengatakan:

”Seburuk-buruk sifat kaum lelaki namun sebaik-baik sifat sifat kaum wanita , penakut. Sebab kaum wanita (Isteri) itu bakhil maka akan dapat memelihara hartanya dsn hartanya dan suami saja, kalau isteri (wanita) itu merasa besar maka perasaan besarnya itu akan mencegah diri nya banyak bicara kepada setiap orang dengan gaya bicara yang lunak, yang memungkinkan mengundang perhatian. kalau wanita itu penakut dari segala sesuatu maka ia tidak akan keluar rumah dan merasa takut ketempat-tempat yang dapat mengundang dugaan lantaran takut kepada Suaminya. Nabi

Dawud As mengatakan :

”Isteri yang berakhlak buruk bagi seorang suami, kalau dimisalkan adalah bagaikan orangtua renta yang memikul beban berat. Sedang isteri yang sholihah bagi seorang suami bagaikan mahkota yang dilapisi emas. Manakala suami memandangnya,maka membuat ketenangan. ”



KEDUDUKAN KAUM ISTERI

Hendaknya suami memberi pengertian kepada isterinya bahwa, sesungguhnya keberadaan isterinya tidak lebih bagaikan hamba sahaya (budak) dimata tuannya. Atau bagaikan tawanan yang tidak berdaya karena itu isteri tidak berhak mempergunakan harta-harta suaminya kecuali memperoleh izinnya.

Bahkan menurut pendapat mayoritas Ulama bahwa, seorang isteri tidak boleh mempergunakan hartanya juga sekalipun harta itu mutlak miliknya sendiri, kecuali telah mendapat restu suami. Sebab kedudukan Isteri itu seperti orang yang menanggung hutang banyak yang harus membatasi penggunaan hartanya.

Selain itu telah kewajiban bagi kaum isteri supaya memiliki sikap pemalu terhadap suaminya sepanjang waktu. Tidak banyak membantah perkataan suami. Merendahkan pandangannya di hadapan suami. Mentaati perintah- perintahnya, dan siap mendengarkan kata-kata yang diucapkan suaminya. Menyongsong kedatangan suami dan mengantarkannya ketika hendak keluar rumah. Menampakkan rasa cinta dan bergembira dihadapannya. Menyerahkan dirinya secara penuh di sisi suaminya ketika di tempat tidur.

Termasuk perkara penting yang perlu mendapat perhatian kaum isteri adalah, hendaknya selalu memperhatikan kebersihan mulutnya, baik dengan cara di gosok dalam berbagai waktu, menggunakan misik atau wewangian lain. Mem bersihkan pakaian, selalu bersolek di hadapan suami sebaliknya tidak berhias jika suami sedang pergi.

Al Ashmu’i menceritakan pengalamannya ketika berjalan-jalan di suatu dusun. Katanya, suatu hari aku melihat seorang wanita di suatu desa. Ia berpakaian merah menyala, semua semua kukunya dikenakan pacar dan tangannya menggenggam tasbih. Al Ashmu’i bergumam : Alangkah indahnya wanita itu, hampir tidak ada ke keindahan yang melebihinya.

Setelah mengetahui sapaanku, ia bersair :

Demi Allah sesungguhnya aku mempunyai seorang kawan yang akrab yang tidak dapat kutinggalkan sewaktu-waktu aku bercengkerama bersama dirimu Al Ashmu’i melanjutkan, sekarang aku tahu bahwa, wanita itu ternyata seorang isteri yang solehah. Ia mempunyai suami dimana ia selalu berhias untuk menyenangkan dirinya.

Selanjutnya, seorang isteri hendaknya menjauhkan diri dari sikap berkhianat terhadap suami. Baik berkhianat ketika ditinggal suami, saat di tempat tidur atau berkhianat pada hartanya.

“LAA YAHILLU LAHAA AN TUTH’IMA MIN BAITIHI ILLAA BIIDZNIHI ILLAA ARROTHBA MINATHTHO’AAMI ALLADZII YAKHOOPU FASAADUHU FAIN ATH’AMAT ‘AN RIDHOOHU KAANA LAHAA MITSLA AJRIHI WAIN ATH’AMAT BIGHOIRI IDZNIHI KAANA LAHULAJRU WA’ALAIHALWIZRU. ” (AL-HADITS)

Artinya:

”Tidak dihalalkan bagi seorang isteri memberikan makanan dari rumah suaminya kecuali mendapat izinnya. Kecuali berupa makanan basah (yang kadar airnya tinggi)yang dikhawatirkan busuk. Kalau seorang isteri memberi makanan tanpa memperoleh izin suaminya, maka suaminya yang mendapat pahala dan ia sendiri mendapat dosa. (al-hadits).

Seorang isteri juga harus menghormati keluarga suaminya, kerabat- kerabatnya kendati hanya dengan ucapan. Hendaknya isteri dapat menempatkan dirinya dalam memandang perkara yang sedikit yang dimiliki suami sebagai perkara yang banyak. Tidak menolak jika diajak tidur bersama, kendati saat itu ia sedang berkendaraan.