KEUTAMAAN MURUAH (KURANG MENJAGA KEHORMATAN DIRI), SYAHAMAH (MENCEGAH HAWA NAFSU) DAN ‘IZZATIN NAFSI (KEMULIAAN DIRI)
Wahai anakku, tidak ada kebaikan bagi orang yang sedikit muruahnya (kurang menjaga kehormatan diri), membuat dirinya hina dalam pandangan umat dan teman pergaulan. Apabila seseorang dihina dan dicela, dia akan merasa rendah diri serta kehilangan kemulian dirinya.
Wahai anakku, kepribadian orang-orang seperti itu bukanlah watak dan kepribadian orang-orang yang mempelajari Dien, dan tidak patut dimiliki oleh orang-orang yang memegang teguh ajaran syariat Islam.
Wahai anakku, jaga dan peliharalah sifat muruahmu, janganlah engkau dudukkan dirimu bukan pada tempatnya. Peliharalah dan jaga dirimu dari pergaulan dengan orang-orang yang rendah akhlaqnya dan tercela. Angkatlah kehormatan dirimu dari sifat-sifat kehinaan, janganlah engkau menjadi budak perutmu (hidup untuk makan ibarat binatang) dan janganlah engkau menjadi budak hawa nafsu syahwatmu dengan memperturutkan apa yang dikehendaki.
Wahai anakku, fakir (kekurangan) dalam masalah harta tidaklah menjadi tercela bagi umat manusia. Seseorang akan tercela apabila tidak memiliki sifat muruah, bukan karena sedikit hartanya. Seseorang akan mendapat pujian jika memiliki sifat muruah dan baik dalam bergaul dengan keluarga dan temanya, jadi bukan karena banyak harta.
Sebagaian dari sifat wara’ (orang yang dalam ilmunya) ialah menjaga wajahmu dari kehinaan memimta-minta, ridla untuk hidup sederhana apa adanya, makan hanya sekedar untuk penguat badan saja, sebagaimana diterangkan dalam hadits syarif, dari Nabi saw.: “Tidaklah anak adam (umat manusia) memenuhi suatu wadah yang lebih jelek dari pada perutnya. Hanya sekedar kebutuhan untuk mempertahankan kekuatan tubuhnya saja dia makan. Apabila merasa harus makan banyak, maka hendaklah dibagi isi perutnya, yaitu: sepertiga untuk menyimpan makanannya, sepertiga untuk menyimpan minumnya, dan sepertiga lagi untuk pernafasanya.” (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim dari Miqdad bin Ma’dikariba)
Janganlah engkau memancing seorang untuk mengungkapkan sesuatu yang telah diberikan kepadamu baik berupa barang ataupun yang lainnya, itu merupakan kesenangan sementara saja.
Sebagian lagi dari cara menjaga kehormatan diri ialah engkau selalu melihat dengan penuh kasih sayang kepada fakir miskin dan orang-orang yang sangat membutuhkannya.
Termasuk cara menjaga kehormatan diri yang lain ialah apabila engkau memberikan pertolongan kepada salah seorang teman baik dengan harta ataupun lainnya, Janganlah engkau jadikan jalan untuk menghina dan mencelanya.
Wahai anakku, sebagian dari syahamah (mencegah hawa nafsu) ialah memaafkan orang yang bersalah atau berbuat jahat kepada dirimu, sekalipun dirimu mampu dan kuat untuk membalasnya. Bagian lain dari syahamah ialah berkata benar, sekalipun pada diri sendiri dan juga menjaga kehormatan diri sekalipun engkau hidup fakir tanpa dan papa dari harta.
Wahai anakku, orang yang tidak menjaga ‘izzatin nafsi (kemuliandiri), maka tidak akan manfaat harta dan yang lainnya untuk mencapai suatu kemulian.
Kemulian diri adalah lebih utama dan lebih mulia daripada kemulian harta benda. Sebagian dari kemulian diri ialah menunjukkan akhlaq yang baik dihadapan umat manusia, sekalipun engkau fakir. Tidak memperlihatkan hajat kebutuhanmu kepada seseorang yang dekat denganmu. Sebagian lagi dari kemulian diri ialah bersabar dikala mendapatkan kesulitan hidup, dengan kesabaran yang terpujidan berserah diri kepada Allah, janganlah meminta bantuan selain kepada Rabbmu.
Wahai anakku, sebagian dari ‘izzah nafsi, muruah dan syahamah ialah menjauhkan diri dari melakukan perbuatan yang hina dan rendah untuk dirimu, jauhi perbuatan yang dapat menjatuhkan harga diri serta juga menjauhi perkara-perkara yang dapat menjatuhkan nama baik generasi penerus yang menjujung Dienul Islam, menjaga nama baik lingkungan dimana engkau berpijak. Rasulullah saw. telah bersabda: “Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya itu ibarat suatu bangunan, yang satu sama lainnya saling kuat menguatkan.” (Hadis riwayat Bukhari, Muslim dari Abi Musa Al-Asy’ari ra.)